Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sikap Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Dimana Allah

Abu Hanhifa
Sikap Keras Abu Hanifah
Terhadap orang yang tidak tahu di manakah Allah, Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar:
ﻣﻦ ﺍﻧﻜﺮ ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy - pemilik kitab Al Fiqhul Akbar, beliau berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﺎ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻋﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺭﺑﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻓﻘﺎﻝ ﻗﺪ ﻛﻔﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﻤﻮﺍﺗﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﺇﻧﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻗﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻟﻜﻦ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﺭﻭﺍﻫﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺎﺭﻭﻕ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻧﺼﻴﺮ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.
Dan‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”
Imam Malik bin Anas.
Imam Darul Hijroh meyakini Allah di Atas Langit dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan:
ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﺷﻲﺀ
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata:
ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻴﻒ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﺷﻲﺀ ﻛﻤﻮﺟﺪﺗﻪ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﻟﺘﻪ ﻭﻋﻼﻩ ﺍﻟﺮﺣﻀﺎﺀ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﻌﺮﻕ ﻭﺃﻃﺮﻕ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻓﺴﺮﻱ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﻭﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ ﻣﻨﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺍﺟﺐ ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺿﺎﻻ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ<br> “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata:
ﺍﻟﻜَﻴْﻒُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻌْﻘُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﺳْﺘِﻮَﺍﺀُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺠْﻬُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥُ ﺑِﻪِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻭَﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﺿَﺎﻻًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.
Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah. Imam Asy Syafi’i  yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’ii (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata:
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺍﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻓﺄﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻥ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺰﻝ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺫﻛﺮ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan:
“Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11] Imam Ahmad bin Hambal [12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” [13] Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya:
ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﻪ ﺍﻻ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻪ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﻩ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﻜﻞ ﺷﻲﺀ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻼﻡ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺭﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﺻﻔﻪ ﻭﺳﻊ ﻛﺮﺳﻴﻪ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ
“Apa makna firman Allah, ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ “Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. ”[14]
ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. ”[15] Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi- Nya pun meliputi langit dan bumi.” Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata:
ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﺂﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﺑﻜﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭ ﻻﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [16] Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya:
ﻛﻴﻒ ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab:
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan:
ﻫﻜﺬﺍ ﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ
“Begitu juga keyakinan kami.” [17] Tidak Perlu Disangsikan Lagi Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran? Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.:
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺨﻼﻝ ﺃﻧﺒﺄﻧﺎ ﺍﻟﻤﺮﻭﺫﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﺡ ﺍﻟﻨﻴﺴﺎﺑﻮﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﺍﻟﺨﻔﺎﻑ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭﺍﻫﻮﻳﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻓﻲ ﺃﺳﻔﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [18] . Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh. [19] Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan:
ﺍﺳﻤﻊ ﻭﻳﺤﻚ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻛﻴﻒ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻪ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.” [20] Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas. Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
ﻛﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﺃﻱ ﻛﻴﻒ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﺈﺛﺒﺎﺗﻪ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻓﻴﺠﺰﻡ ﺑﻨﻔﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﺃﻱ ﺃﻧﻪ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻠﻐﺔ ، ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﺟﺐ ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻜﺘﺒﻪ ، ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ؛ ﺃﻱ ﺣﺎﺩﺙ ﻷﻥ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻋﺎﻟﻤﻴﻦ ﺑﻤﻌﻨﺎﻩ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﺤﺴﺐ ﻭﺿﻊ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻓﻠﻢ ﻳﺤﺘﺎﺟﻮﺍ ﻟﻠﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻂ ﺑﺄﻭﺿﺎﻉ ﻟﻐﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻟﻪ ﻧﻮﺭ ﻛﻨﻮﺭﻫﻢ ﻳﻬﺪﻳﻪ ﻟﺼﻔﺎﺕ ﺭﺑﻪ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻓﻜﺎﻥ ﺳﺆﺍﻟﻪ ﺳﺒﺒﺎ ﻻﺷﺘﺒﺎﻫﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺯﻳﻐﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ .
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.” Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ ﻛﻴﻒ ، ﻭﻛﻴﻒ ﻋﻨﻪ ﻣﺮﻓﻮﻉ …
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72) Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah! Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai- sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata: Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya.. Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy- Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.” Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘ Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih . Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut , ‘ Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb? ’ dan tidak pula kita katakan , ‘ Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita) ’; seperti ini tidaklah disebut tasybih . Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman:
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat .” (QS. Asy Syuro: 11) [21] Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh- jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan:
ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ ﻭﻧﺤﻮﻫﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺎﺓ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺛﺒﺘﻬﺎ ﻣﺠﺴﻤﺎ ﻣﺸﺒﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻣﻦ ﻳﻌﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﻭﺍﻟﻤﺸﺒﻬﺔ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﻛﻤﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ﺻﺎﺣﺐ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻩ
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.” [22] Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.” [23] Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)Sikap Keras Abu Hanifah [1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar:
ﻣﻦ ﺍﻧﻜﺮ ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [2] Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[3] , beliau berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﺎ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻋﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺭﺑﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻓﻘﺎﻝ ﻗﺪ ﻛﻔﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﻤﻮﺍﺗﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﺇﻧﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻗﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻟﻜﻦ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﺭﻭﺍﻫﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺎﺭﻭﻕ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻧﺼﻴﺮ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [5] Imam Malik bin Anas [6] , Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan:
ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﺷﻲﺀ
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [7] Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata:
ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻴﻒ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﺷﻲﺀ ﻛﻤﻮﺟﺪﺗﻪ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﻟﺘﻪ ﻭﻋﻼﻩ ﺍﻟﺮﺣﻀﺎﺀ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﻌﺮﻕ ﻭﺃﻃﺮﻕ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻓﺴﺮﻱ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﻭﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ ﻣﻨﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺍﺟﺐ ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺿﺎﻻ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [8] . Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata:
ﺍﻟﻜَﻴْﻒُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻌْﻘُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﺳْﺘِﻮَﺍﺀُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺠْﻬُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥُ ﺑِﻪِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻭَﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﺿَﺎﻻًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. [9] Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah. Imam Asy Syafi’i [10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata:
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺍﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻓﺄﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻥ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺰﻝ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺫﻛﺮ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy- Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11] Imam Ahmad bin Hambal [12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” [13] Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya:
ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﻪ ﺍﻻ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻪ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﻩ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﻜﻞ ﺷﻲﺀ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻼﻡ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺭﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﺻﻔﻪ ﻭﺳﻊ ﻛﺮﺳﻴﻪ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ
“Apa makna firman Allah:
ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. ”[14]
ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. ”[15] Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi- Nya pun meliputi langit dan bumi.” Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata:
ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﺂﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﺑﻜﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭ ﻻﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana- mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [16] Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya:
ﻛﻴﻒ ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab:
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan:
ﻫﻜﺬﺍ ﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ
“Begitu juga keyakinan kami.” [17] Tidak Perlu Disangsikan Lagi Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran? Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺨﻼﻝ ﺃﻧﺒﺄﻧﺎ ﺍﻟﻤﺮﻭﺫﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﺡ ﺍﻟﻨﻴﺴﺎﺑﻮﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﺍﻟﺨﻔﺎﻑ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭﺍﻫﻮﻳﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻓﻲ ﺃﺳﻔﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [18] . Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh. [19] Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan:
ﺍﺳﻤﻊ ﻭﻳﺤﻚ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻛﻴﻒ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻪ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.” [20] Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas. Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
ﻛﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﺃﻱ ﻛﻴﻒ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﺈﺛﺒﺎﺗﻪ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻓﻴﺠﺰﻡ ﺑﻨﻔﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﺃﻱ ﺃﻧﻪ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻠﻐﺔ ، ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﺟﺐ ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻜﺘﺒﻪ ، ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ؛ ﺃﻱ ﺣﺎﺩﺙ ﻷﻥ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻋﺎﻟﻤﻴﻦ ﺑﻤﻌﻨﺎﻩ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﺤﺴﺐ ﻭﺿﻊ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻓﻠﻢ ﻳﺤﺘﺎﺟﻮﺍ ﻟﻠﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻂ ﺑﺄﻭﺿﺎﻉ ﻟﻐﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻟﻪ ﻧﻮﺭ ﻛﻨﻮﺭﻫﻢ ﻳﻬﺪﻳﻪ ﻟﺼﻔﺎﺕ ﺭﺑﻪ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻓﻜﺎﻥ ﺳﺆﺍﻟﻪ ﺳﺒﺒﺎ ﻻﺷﺘﺒﺎﻫﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺯﻳﻐﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ .
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala- . Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.” Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ ﻛﻴﻒ ، ﻭﻛﻴﻒ ﻋﻨﻪ ﻣﺮﻓﻮﻉ …
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72) Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah! Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai- sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata: Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya.. Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy- Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.” Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘ Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih . Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut , ‘ Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb? ’ dan tidak pula kita katakan , ‘ Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita) ’; seperti ini tidaklah disebut tasybih . Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman:
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat .” (QS. Asy Syuro: 11) [21] Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh- jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan:
ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ ﻭﻧﺤﻮﻫﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺎﺓ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺛﺒﺘﻬﺎ ﻣﺠﺴﻤﺎ ﻣﺸﺒﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻣﻦ ﻳﻌﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﻭﺍﻟﻤﺸﺒﻬﺔ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﻛﻤﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ﺻﺎﺣﺐ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻩ
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.” [22] Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.” [23] Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)Sikap Keras Abu Hanifah [1] Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar:
ﻣﻦ ﺍﻧﻜﺮ ﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [2] Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[3] , beliau berkata:
ﺳﺄﻟﺖ ﺃﺑﺎ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻋﻤﻦ ﻳﻘﻮﻝ ﻻ ﺃﻋﺮﻑ ﺭﺑﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻓﻘﺎﻝ ﻗﺪ ﻛﻔﺮ ﻷﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻋﺮﺷﻪ ﻓﻮﻕ ﺳﻤﻮﺍﺗﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﺇﻧﻪ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻗﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻟﻜﻦ ﻗﺎﻝ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺃﻭ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﻗﺎﻝ ﺇﺫﺍ ﺃﻧﻜﺮ ﺃﻧﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻓﻘﺪ ﻛﻔﺮ ﺭﻭﺍﻫﺎ ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﻔﺎﺭﻭﻕ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﻧﺼﻴﺮ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [4] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [5] Imam Malik bin Anas [6] , Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan:
ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﺷﻲﺀ
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [7] Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata:
ﺟﺎﺀ ﺭﺟﻞ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻴﻒ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻭﺟﺪ ﻣﻦ ﺷﻲﺀ ﻛﻤﻮﺟﺪﺗﻪ ﻣﻦ ﻣﻘﺎﻟﺘﻪ ﻭﻋﻼﻩ ﺍﻟﺮﺣﻀﺎﺀ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﻌﺮﻕ ﻭﺃﻃﺮﻕ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻓﺴﺮﻱ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﻭﺍﻹﺳﺘﻮﺍﺀ ﻣﻨﻪ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺍﺟﺐ ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﺇﻧﻲ ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺿﺎﻻ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [8] . Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata:
ﺍﻟﻜَﻴْﻒُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻌْﻘُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﺳْﺘِﻮَﺍﺀُ ﻣِﻨْﻪُ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﺠْﻬُﻮْﻝٍ ﻭَﺍﻹِﻳْﻤَﺎﻥُ ﺑِﻪِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ ﻭَﺍﻟﺴُّﺆَﺍﻝُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮْﻥَ ﺿَﺎﻻًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. [9] Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah. Imam Asy Syafi’i [10] -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata:
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﻧﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺍﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺭﺃﻳﺘﻬﻢ ﻓﺄﺧﺬﺕ ﻋﻨﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺳﻔﻴﺎﻥ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﺍﻹﻗﺮﺍﺭ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﺍﻥ ﻻﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﺛﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﻓﻲ ﺳﻤﺎﺋﻪ ﻳﻘﺮﺏ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺍﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺰﻝ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻴﻒ ﺷﺎﺀ ﻭﺫﻛﺮ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy- Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[11] Imam Ahmad bin Hambal [12] Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” [13] Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya:
ﻣﺎ ﻣﻌﻨﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﻌﻜﻢ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﻧﺠﻮﻯ ﺛﻼﺛﻪ ﺍﻻ ﻫﻮ ﺭﺍﺑﻌﻬﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻪ ﻋﺎﻟﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﻭﺍﻟﺸﻬﺎﺩﻩ ﻋﻠﻤﻪ ﻣﺤﻴﻂ ﺑﻜﻞ ﺷﻲﺀ ﺷﺎﻫﺪ ﻋﻼﻡ ﺍﻟﻐﻴﻮﺏ ﻳﻌﻠﻢ ﺍﻟﻐﻴﺐ ﺭﺑﻨﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺑﻼ ﺣﺪ ﻭﻻ ﺻﻔﻪ ﻭﺳﻊ ﻛﺮﺳﻴﻪ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭﺍﻷﺭﺽ “Apa makna firman Allah:
ﻭَﻫُﻮَ ﻣَﻌَﻜُﻢْ ﺃَﻳْﻦَ ﻣَﺎ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada. ”[14]
ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠْﻮَﻯ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻫُﻮَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬُﻢْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. ”[15] Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi- Nya pun meliputi langit dan bumi.” Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata:
ﻗﻴﻞ ﻷﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﺴﻤﺂﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ ﺑﺎﺋﻦ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻗﺪﺭﺗﻪ ﻭﻋﻠﻤﻪ ﺑﻜﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻗﺎﻝ ﻧﻌﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﻭ ﻻﻳﺨﻠﻮ ﻣﻨﻪ ﻣﻜﺎﻥ
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana- mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [16] Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya:
ﻛﻴﻒ ﻧﻌﺮﻑ ﺭﺑﻨﺎ
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab:
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﺷﻪ
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan:
ﻫﻜﺬﺍ ﻫﻮ ﻋﻨﺪﻧﺎ
“Begitu juga keyakinan kami.” [17] Tidak Perlu Disangsikan Lagi Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran? Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.
ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺨﻼﻝ ﺃﻧﺒﺄﻧﺎ ﺍﻟﻤﺮﻭﺫﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﺡ ﺍﻟﻨﻴﺴﺎﺑﻮﺭﻱ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﺍﻟﺨﻔﺎﻑ ﺳﻠﻴﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭﺍﻫﻮﻳﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﺇﺟﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﻓﻲ ﺃﺳﻔﻞ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻟﺴﺎﺑﻌﺔ
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman:
ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [18] . Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh. [19] Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan:
ﺍﺳﻤﻊ ﻭﻳﺤﻚ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻛﻴﻒ ﻧﻘﻞ ﺍﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻠﻪ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻪ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺍﻟﻤﺬﻛﻮﺭ
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.” [20] Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas. Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
ﻛﻴﻒ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﻘﻮﻝ ﺃﻱ ﻛﻴﻒ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﺤﻮﺍﺩﺙ ﻓﺈﺛﺒﺎﺗﻪ ﻓﻲ ﺻﻔﺎﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻨﺎﻓﻲ ﻣﺎ ﻳﻘﺘﻀﻴﻪ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻓﻴﺠﺰﻡ ﺑﻨﻔﻴﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ، ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﻣﺠﻬﻮﻝ ﺃﻱ ﺃﻧﻪ ﻣﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻋﻨﺪ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻠﻐﺔ ، ﻭﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﺟﺐ ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻜﺘﺒﻪ ، ﻭﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ﺑﺪﻋﺔ ؛ ﺃﻱ ﺣﺎﺩﺙ ﻷﻥ ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻋﺎﻟﻤﻴﻦ ﺑﻤﻌﻨﺎﻩ ﺍﻟﻼﺋﻖ ﺑﺤﺴﺐ ﻭﺿﻊ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻓﻠﻢ ﻳﺤﺘﺎﺟﻮﺍ ﻟﻠﺴﺆﺍﻝ ﻋﻨﻪ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺤﻂ ﺑﺄﻭﺿﺎﻉ ﻟﻐﺘﻬﻢ ﻭﻻ ﻟﻪ ﻧﻮﺭ ﻛﻨﻮﺭﻫﻢ ﻳﻬﺪﻳﻪ ﻟﺼﻔﺎﺕ ﺭﺑﻪ ﻳﺴﺄﻝ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ، ﻓﻜﺎﻥ ﺳﺆﺍﻟﻪ ﺳﺒﺒﺎ ﻻﺷﺘﺒﺎﻫﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺯﻳﻐﻬﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ .
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala- . Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.” Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﺮﺵ ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ ﻛﻴﻒ ، ﻭﻛﻴﻒ ﻋﻨﻪ ﻣﺮﻓﻮﻉ …
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72) Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah! Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai- sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata: Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya.. Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy- Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.” Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘ Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih . Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut , ‘ Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb? ’ dan tidak pula kita katakan , ‘ Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita) ’; seperti ini tidaklah disebut tasybih . Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman:
ﻟَﻴْﺲَ ﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟﺴَّﻤِﻴﻊُ ﺍﻟْﺒَﺼِﻴﺮُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat .” (QS. Asy Syuro: 11) [21] Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh- jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan:
ﻓﺎﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ﻭﺍﻟﺠﻬﻤﻴﺔ ﻭﻧﺤﻮﻫﻢ ﻣﻦ ﻧﻔﺎﺓ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﺛﺒﺘﻬﺎ ﻣﺠﺴﻤﺎ ﻣﺸﺒﻬﺎ ﻭﻣﻦ ﻫﺆﻻﺀ ﻣﻦ ﻳﻌﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﻭﺍﻟﻤﺸﺒﻬﺔ ﻣﻦ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭﻳﻦ ﻛﻤﺎﻟﻚ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ ﺻﺎﺣﺐ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺰﻳﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻩ
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.” [22] Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.” [23] Semoga tulisan kali ini bias sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa tempat”. Semoga Allah mudahkan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010) Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony).

Post a Comment for "Sikap Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Dimana Allah"